DPR Bahagia Sambut Surat Usulan Pemakzulan Gibran. Fraksii-Fraksi Menyambut Terbuka.
"Prahara Purnawirawan: Ketika Sumpah Setia Dikhianati Demi Hasrat Politik"

detakpolitik.com JAKARTA - Indonesia kembali diguncang oleh sebuah manuver yang menyayat hati publik yang mencintai ketertiban dan konstitusi. Forum Purnawirawan TNI—yang notabene diisi oleh para jenderal, laksamana, dan marsekal yang pernah menikmati kehormatan tertinggi sebagai penjaga kedaulatan negara—melancarkan surat desakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Surat bertanggal 26 Mei 2025 itu dialamatkan kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI. Mereka menuduh Gibran tak layak, tak pantas, bahkan mengaitkan hal-hal remeh seperti akun media sosial “fufufafa” dengan posisi kenegaraan. Mereka bahkan menyatakan bahwa Gibran menjadi Wakil Presiden melalui jalan cacat hukum dan pelanggaran etika.
Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah: Di mana sumpah setia kalian? Di mana komitmen kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dahulu kalian ucapkan dengan lantang ketika berdiri tegak berseragam, bersumpah untuk taat dan setia kepada Presiden Republik Indonesia dan konstitusi?
Apakah ini buah dari ketidakrelaan bahwa seorang pemuda yang kalian nilai "minim pengalaman" telah mengemban amanat rakyat untuk menjadi Wakil Presiden? Apakah ini sekadar bentuk nostalgia kekuasaan yang telah lama pergi, dan kini mencoba dikembalikan lewat jalan pintas bernama pemakzulan?
Mari kita luruskan.
Prosedur pemakzulan dalam sistem hukum Indonesia bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan menyerahkan secarik surat yang penuh keluh-kesah politis lalu berharap hasilnya instan. Pasal 7B UUD 1945 dengan tegas menetapkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dimakzulkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, kejahatan berat lain, atau perbuatan tercela. Bahkan bila telah ada bukti, prosesnya harus dimulai lewat DPR, diteruskan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji, baru bisa sampai ke MPR untuk diambil keputusan dengan kuorum ketat. Ini bukan prosedur emosional yang bisa dikendalikan oleh sekelompok pensiunan jenderal.
Namun Forum Purnawirawan seakan ingin jalan pintas. Mereka menyebut Putusan MK Nomor 90 sebagai cacat hukum. Mereka mempersoalkan posisi Anwar Usman yang saat itu adalah paman Gibran. Mereka tidak salah soal konflik kepentingan Anwar Usman, tetapi bagaimana bisa menimpakan kesalahan sistemik pada Gibran yang bahkan tidak punya kuasa atas siapa yang menjadi hakim MK?
Apa logikanya menyalahkan Gibran karena Mahkamah Konstitusi memutuskan sesuatu yang sesuai dengan hukum, meskipun kemudian etikanya dipersoalkan oleh Majelis Kehormatan MK? Apakah Gibran yang harus memohon ke MK agar tidak diloloskan? Apakah dia harus minta gagal agar dianggap etis oleh para pensiunan ini?
Lebih parah lagi, Forum Purnawirawan menyeret-nyeret akun fufufafa, sebuah akun media sosial yang bahkan belum pernah terbukti secara hukum terhubung langsung dengan Gibran. Narasi liar dan asumsi tak berdasar justru menjadi bahan dalam dokumen resmi yang mereka kirimkan ke DPR, MPR, dan DPD. Di mana tanggung jawab moral para jenderal ini ketika melayangkan tuduhan yang tidak didasarkan pada fakta hukum?
Sebagai mantan petinggi TNI, mereka adalah orang-orang yang paling tahu bahwa loyalitas adalah pilar utama dalam doktrin kemiliteran. Dalam setiap pelatihan, setiap upacara, setiap penugasan—selalu ditekankan bahwa militer setia kepada Presiden dan konstitusi. Maka sangat ironis ketika mereka yang telah menerima segala kehormatan dari republik ini justru menjadi provokator utama untuk mendongkel konstitusi lewat surat bernada politik yang nyaris tanpa dasar hukum yang kuat.
Mereka lupa bahwa Gibran bukan sekadar anak presiden. Dia adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang dipilih secara konstitusional, lewat pemilu yang sah, disahkan oleh KPU, dan diakui oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial kita, dia bukan pelengkap. Dia adalah Wakil Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia. Ya, TNI yang dulu kalian pimpin. TNI yang dulu kalian ajarkan disiplin dan kepatuhan terhadap hierarki dan hukum.
Tidakkah kalian sadar, bahwa tindakan kalian adalah bentuk pembangkangan terhadap sistem yang kalian sendiri dulu bela dengan darah dan nyawa? Tidakkah kalian risih menggunakan pangkat purnawirawan sebagai senjata politik untuk menggoyang stabilitas negara?
Apakah kalian ingin menjadi contoh buruk bagi prajurit aktif yang melihat bahwa begitu pensiun, loyalitas bisa digadaikan kepada kepentingan politik? Apakah ini teladan bahwa sumpah hanya berlaku selama masa aktif, dan bisa dibatalkan begitu pensiun?
Forum Purnawirawan tidak sedang menyelamatkan republik. Mereka sedang mempermalukan institusi yang pernah mereka wakili. Mereka menyeret nama TNI ke medan konflik politik yang seharusnya dijauhi.
Jika mereka benar-benar mencintai bangsa ini, jika mereka masih mengingat sumpah prajurit, mereka seharusnya memperkuat sistem konstitusional, bukan merusaknya dari luar pagar. Tindakan mereka adalah bentuk disinformasi publik, menciptakan noise, keraguan, bahkan potensi instabilitas nasional—hanya karena tidak rela bahwa generasi muda telah mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan.
Ingat, konstitusi tidak bisa dipermainkan oleh ego para pensiunan. DPR tidak bekerja berdasarkan emosi sekelompok orang yang dulu pernah berjasa. Parlemen tidak bisa dipaksa menabrak konstitusi hanya karena surat ditandatangani oleh para jenderal tua yang menolak kenyataan bahwa zaman telah berganti.
Yang mereka lakukan bukanlah pengabdian. Itu adalah pengkhianatan terhadap sistem yang mereka dahulu bela. Gibran adalah pejabat sah negara. Dan menyerang legitimasi jabatan itu tanpa dasar hukum adalah bentuk perlawanan terhadap konstitusi.
Seharusnya, para purnawirawan itu menjadi penenang dalam suasana politik yang panas. Mereka mestinya menjadi penjaga etika kenegaraan, bukan penabuh genderang keresahan. Jika mereka mengklaim sebagai patriot, mereka seharusnya memupuk stabilitas, bukan mempermainkan ketenangan publik.
Kalau benar mereka tidak setuju, gunakan jalur yang benar. Gunakan argumentasi hukum, bukan surat opini. Gunakan proses peradilan, bukan manuver pencitraan. Tapi tampaknya, mereka tahu bahwa apa yang mereka tuduhkan tak akan kuat di pengadilan—maka pilihan terakhir adalah menggiring opini, memainkan narasi, dan memanfaatkan status mereka sebagai mantan jenderal untuk membangun tekanan politik.
Sayangnya, sejarah tidak akan berpihak pada mereka. Sejarah akan mencatat bahwa di tengah upaya bangsa ini membangun stabilitas, kemajuan, dan regenerasi kepemimpinan, justru para purnawirawan yang dulu dielu-elukan itu tampil sebagai pengacau. Dan publik tidak akan mudah lupa.
Kita tidak sedang membela Gibran sebagai individu. Kita sedang membela kehormatan konstitusi. Kita sedang menjaga agar negara ini tidak diatur oleh kelompok bayangan yang merasa dirinya superior karena pernah berseragam. Demokrasi tidak mengenal senioritas. Pemilu tidak dimenangkan oleh jumlah bintang di pundak, tapi oleh suara rakyat yang sah.
Dan selama belum ada bukti hukum yang sahih, Gibran tetaplah Wakil Presiden yang sah, yang harus didukung penuh oleh setiap warga negara—terutama oleh mereka yang pernah bersumpah menjaga NKRI dan setia kepada Presiden Republik Indonesia, siapapun dia.
Forum Purnawirawan telah keluar jalur. Dan publik harus tahu, bahwa sikap mereka tidak mencerminkan kemuliaan seorang patriot. Tapi mencerminkan kekecewaan pribadi yang dibungkus jargon kebangsaan.
Mari kita bersatu menjaga republik ini dari gangguan politisasi oleh kelompok mana pun, termasuk mereka yang dulu berjasa namun kini lupa pada sumpah setia mereka sendiri.
(HT/DP)
Apa Reaksi Anda?






